Selamat Datang.........

Semoga Bermanfaat..... Dunia Akhirat.... ^_^

Sabtu, 28 Agustus 2010

TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH DAN TRANSFUSI DARAH

TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH
Transplantasi Organ Ketika Masih Hidup
Donor anggota tubuh bagi siapa saja yang memerlukan pada saat si donor masih hidup. Donor semacam ini hukumnya boleh. Karena Allah Swt memperbolehkan memberikan pengampunan terhadap qisash maupun diyat.
Allah Swt berfirman:
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (TQS al-Baqarah [2]: 178)
Namun, donor seperti ini dibolehkan dengan syarat. Yaitu, donor tersebut tidak mengakibatkan kematian si pendonor. Misalnya, dia mendonorkan jantung, limpha atau paru-parunya. Hal ini akan mengakibatkan kematian pada diri si pendonor. Padahal manusia tidak boleh membunuh dirinya, atau membiarkan orang lain membunuh dirinya; meski dengan kerelaannya.
Allah Swt berfirman:
Dan janganlah kamu membunuh dirimu. (TQS an-Nisa [4]: 29).
Selanjutnya Allah Swt berfirman:
Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS al-An’am [6]: 151)
Sebagaimana tidak bolehnya manusia mendonorkan anggota tubuhnya yang dapat mengakibatkan terjadinya pencampuradukan nasab atau keturunan. Misalnya, donor testis bagi pria atau donor indung telur bagi perempuan. Sungguh Islam telah melarang untuk menisbahkan dirinya pada selain bapak maupun ibunya.
Allah Swt berfirman:
Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. (TQS al-Mujadilah [58]: 2)
Selanjutnya Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa yang menasabkan dirinya pada selain bapaknya, atau mengurus sesuatu yang bukan urusannya maka atas orang tersebut adalah laknat Allah, Malaikat dan seluruh manusia”.
Sebagaiman sabda Nabi saw:
“Barang siapa yang dipanggil dengan (nama) selain bapaknya maka surga haram atasnya”
Begitu pula dinyatakan oleh beliau saw:
“Wanita manapun yang telah mamasukkan nasabnya pada suatu kaum padahal bukan bagian dari kaum tersebut maka dia terputus dari Allah, dia tidak akan masuk surga; dan laki-laki manapun yang menolak anaknya padahal dia mengetahui (bahwa anak tersebut anaknya) maka Allah menghijab Diri-Nya dari laki-laki tersebut, dan Allah akan menelanjangi (aibnya) dihadapan orang-orang yang terdahulu maupun yang kemudian”.
Adapun donor kedua testis maupun kedua indung telur, hal tersebut akan mengakibatkan kemandulan; tentu hal ini bertentangan dengan perintah Islam untuk memelihara keturunan.
Transplantasi Organ yang dilakukan Setelah Mati
Adapun transplantasi setelah berakhirnya kehidupan; hukumnya berbeda dengan donor ketika (si pendonor) masih hidup. Dengan asumsi bahwa disini diperlukan adanya penjelasan tentang hukum pemilikan terhadap tubuh manusia setelah dia mati. Merupakan suatu hal yang tidak diragukan lagi bahwa setelah kematiannya, manusia telah keluar dari kepemilikan serta kekuasaannya terhadap semua hal; baik harta, tubuh, maupun istrinya. Dengan demikian, dia tidak lagi memiliki hak terhadap tubuhnya. Maka ketika dia memberikan wasiat untuk mendonorkan sebagian anggota tubuhnya, berarti dia telah mengatur sesuatu yang bukan haknya. Jadi dia tidak lagi diperbolehkan untuk mendonorkan tubuhnya. Dengan sendirinya wasiatnya dalam hal itu juga tidak sah. Memang dibolehkan untuk memberikan sebagian hartanya, walaupunl harta tersebut akan keluar dari kepemilikannya ketika hidupnya berakhir. Tetapi itu disebabkan karena syara’ memberikan izin pada manusia tentang perkara tersebut. Dan itu merupakan izin khusus pada harta, tentu tidak dapat diberlakukan terhadap yang lain. Dengan demikian manusia tidak diperbolehkan memberikan wasiat dengan mendonorkan sebagian anggota tubuhnya setelah dia mati.
Adapun bagi ahli waris; sesungguhnya syara’ mewariskan pada mereka harta yang diwariskan (oleh si mati). Namun syara’ tidak mewariskan jasadnya kepada mereka, sehingga mereka tidak berhak untuk mendonorkan apapun dari si mati. Kalau terhadap ahli waris saja demikian, apalagi dokter atau penguasa, mereka sama sekali tidak berhak untuk mentransplantasikan organ orang setelah mati pada orang lain yang membutuhkan.
Terlebih lagi terdapat keharusan untuk menjaga kehormatan si mati serta adanya larangan untuk menyakitinya sebagaimana larangan pada orang yang hidup. Rasulullah saw bersabda:
“Mematahkan tulang orang yang telah mati sama hukumnya dengan memotong tulangnya ketika ia masih hidup”.
Dengan demikian Rasulullah saw melarang untuk merampas dan menyakiti (si mati). Memang benar bahwa melampaui batas terhadap orang mati dengan melukai atau memotong atau bahkan memecahkan (tulang) tidak ada jaminan (diyat) sebagaimana ketika dia masih hidup. Akan tetapi jelas bahwa melampaui batas terhadap jasad si mati atau menyakitinya dengan cara mengambil anggota tubuhnya adalah haram; dan haramnya bersifat pasti (qath’i).
Mengenai keadaan darurat yang telah dijadikan alasan oleh aparat negara, jajaran humas serta muftinya yang membolehkan transplantasi. hal tersebut membutuhkan kajian tentang keadaan darurat serta penerapannya pada masalah transplantasi organ.
Sesungguhnya Allah SWT. telah membolehkan orang dalam keadaan darurat hingga kehabisan bekal dan hidupnya terancam kematian untuk makan apa saja yang dijumpainya. Meski makanan tersebut diharamkan oleh Allah, namun (dalam kondisi darurat boleh) dimakan sekedar untuk memulihkan tenaganya serta agar tetap hidup. Maka illat bolehnya makan makanan haram adalah untuk menjaga (eksistensi) kehidupan manusia. Dengan mengkaji anggota tubuh yang akan ditransplantasikan, maupun maksud transplantasi maka adakalanya penyelamatan hidup manusia tergantung pada tranplantasi (tentu berdasarkan dugaan kuat) seperti jantung, hati maupun kedua ginjal. Atau ada kalanya tranplantasi anggota tubuh yang tidak berhubungan langsung dengan penyelamatan hidup. Misalnya tranplantasi kornea, atau pupil atau mata secara keseluruhan dari orang yang telah mati.
Adapun anggota tubuh yang diduga kuat dapat menyelamatkan kehidupan manusia maka illatnya dalam hal ini tidak sempurna. Karena kadang-kadang berhasil, kadang-kadang juga tidak. Hal ini berbeda dengan illat memakan bangkai; yang secara pasti mampu menyelamatkan hidup manusia. Terlebih lagi bahwa sebagian dari illah cabang (‘illat al-far’u)-dalam hal ini transplantasi-adalah terbebas dari pertentangan (dalil) yang lebih kuat, yang mengharuskan kebalikan dari perkara yang telah ditetapkan oleh ‘illat qiyas. ‘Illat qiyas dalam transplantasi organ adalah untuk memelihara kehidupan manusia-sebagaimana pada kasus makan bangkai. Padahal illat tersebut masih berupa ‘diduga kuat’. Ini bertentangan dengan (dalil) yang lebih kuat yaitu kehormatan jenazah serta larangan menyakiti atau merusaknya. Berdasarkan hal ini tidak diperbolehkan (baca: haram) melakukan transplantasi organ; yang dengan transplantasi tersebut kehidupan seseorang tergantung padanya.
Sedangkan transplantasi organ yang penyelamatan kehidupan orang tidak tergantung padanya, atau dengan kata lain kegagalan transplantasi tersebut tidak mengakibatkan kematian, maka illat yang ada pada pokok (‘illah al-ashl) pemeliharaan terhadap kehidupan manusia tidak ada. Dengan begitu hukum darurat tidak berlaku disini.
Dengan demikian maka tidak diperbolehkan melakukan tranplantasi organ dari seseorang yang telah mati. sementara dia terpelihara darahnya baik muslim, kafir dzimmi, mu’ahid maupun musta’min-pada orang lain yang kehidupannya tergantung pada (keberhasilan) tranplantasi organ tersebut.








TRANSFUSI DARAH

Dewasa ini Trasfusi Darah bukanlah hal yang aneh. Setiap saat terjadi perpindahan darah ( transfuse darah) dari tubuh manusia yang satu ke dalam tubuh manusia lainnya, Bahkan penularan virus AIDS pun salah satu medianya adalah Darah. Kita sebagai umat muslim tahu dan meyakini bahwa darah yang mengalir ( Dam mashfuh ) selalu dianggap benda najis. Lalu bagaimana hukum sebenarnya Transfusi Darah yang ditempuh untuk menyelematkan nyawa manusia yang kehabisan darah, sedang darah dipandang sebagai benda najis, yang berarti melakukan transfusi darah sama dengan memindahkan benda najis dari satu tubuh ke tubuh orang lain yang kemudian kita beribadah dengan membawa benda najis dalam tubuh kita.

Alqur’an dan Sunnah adalah sumber kebenaran. siapapun yang berpegang pada keduanya, Allah telah menjanjikan Syurga yang tiada bandingan kenikmatan di dalamnya. Namun di dalam keduanya tidak ditemukan teks yang membahas halal tidaknya transfusi darah. Oleh karena itu masalah trasnfusi darah sejak awal menjadi bahan perdebatan dan menimbulkan problem mendasar di kalangan fuqaha ( ahli fiqih )
Dalam kondisi biasa, tanpa adanya keterpaksaan, dan sebab hal-hal yang mempertaruhkan nyawa, transfusi darah merupakan sesuatu yang haram. Hal ini dikemukakan oleh mufti syafi’I dari Pakistan.
Sebab, pertama darah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tubuh manusia, sehingga pengambilan dan pentransfusiannya ke dalam sistem peredaran darah orang lain disamakan dengan upaya mengubah takdir manusia.
Kedua darah termasuk benda najis. Ketentuan ini dapat kita jumpai dalam kitab al-umm karya Imam Syafi’I (“ jika seseorang memasukkan darah ke dalam kulitnya, dan darah itu berkembang ( nabata ‘alaih), maka darah tersebut wajib dikeluarkan dan orang itu wajib mengganti sholat yang ia lakukan setelah memasukkan darah tersebut.
Akan tetapi Islam bukanlah agama yang kaku dan kolot tatkala dihadapkan pada kondisi yang luar biasa ( jika tidak dengan melalui transfusi darah seseorang terancam nyawanya), maka dalam kondisi seperti ini transfusi darah berhukum jaiz (boleh). Pendapat seperti ini di dukung pula oleh Syaikh Mufti Syafi’ dengan analoginya antara air susu ibu dan darah
Air susu keluar secara alami dari tubuh seorang ibu yang pastinya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tubuh si ibu saat bayi menetek padanya. Air susu ibu merupakan makanan pokok si bayi sehingga bayi mampu mempertahankan kehidupannya dengan ASI yang di berikan sang ibu, dan syari’at pun mengakui arti penting ASI bagi si bayi, karenanya ibu wajib menyusui bayinya dalam kondisi normal ( jika tidak ada sesuatu yang mambahayakan baik untuk sang ibu maupun si bayi )
Sementara tentang darah, Syekh Mufti Syafi’ menerangkan bawa darah yang di transfusikan, tidak dengan mengiris bagian tubuh manapun, melainkan melalui jarum kemudian di transfer ke dalam tubuh orang yang membutuhkan sebagai ikhtiar untuk menyelamatkan nyawa dan memperpanjang kehidupan. Hal ini sesuai firman Allah:

“ Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih nama selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa ( memakannya ) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak ( pula) melampui batas, maka tidak ada dosa baginya” ( Al-Baqoroh: 173)
Lebih lanjut beliau juga mengatakan bahwa sebagian fuqohaa’ menetapkan bahwa laki-laki dewasa boleh memanfaatkan air susu ibu sebagai tujuan pengobatan, dengan syarat, jika tanpa ASI tersebut nyawanya akan melayang. Pernyataan ini dapt kita temukan dalam kitab fatawa Alamgiriyyah.( “ tidak ada larangan bagi seorang laki-laki untuk menyedot air susu seorang wanita dan meminumnya ( untuk tujuan pengobatan) ). Namun kita juga harus melihat ASI yang boleh di sedot adalah ASI dari wanita yang masih muhrim. Sebab konteks menyedot memberikan apresiasi bakal terjadi persentuhan kulit antara wanita yang memilki ASI dan laki-laki yang membutuhkannya guna dimanfaatkan sebagai obat.
Syekh Mufti’ Syafi’ juga mengatakan bahwa pembolehan tranfusi darah tidak langsung serta merta tanpa ada ketentuan-ketentuan, sebab jika hal itu tertjadi akan merusak tatanan hukum yang telah tertata rapi. Salah satu ketentuan yang beliau sampaikan adalah adanya pernyataan kekhawatiran yang sangat dari seorang dokter yang berkompeten, bahwa tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan nyawa pasien kecuali dengan melakukan transfusi darah.
Tranfusi darah tidak boleh dilakukan jika tujuannya hanya sekedar untuk peningkatan kesehatan atau bahkan kecantiakan. Dan seandainya masih ada pilihan lain untuk penyelamatan nyawa, maka hendaknya tidak memilih melakukan tranfusi darah, demi kehati-hatian kita dalam menyikapi sebuah hokum styari’at.
Alasan-alasan diatas juga sama seperti yang dikemukakan oleh Dr. ‘Abd. Al-Salam al- Syukri, guru besar syari’at dan hukum universitas Al-Azhar serta Syekh Ahmad Fahmi Abu Sinnah, anggota Akademi Fikih Islam Liga Dunia Muslim, Mekkah dan Arab Saudi, yang menyatakan bahwa pengambilan darah dari pendonor dan pentranfusianya ke dalam tubuh resipien sama sekali tidak merusak martabat manusia, justru jika tindakan ini jika dilakukan sesuai denga ketentuan syari’at akan tergolong perbuatan mulia dan kemaslahatan ( maslahatul mursalah ), karena hal ini bisa dipandang sebagai salah satu jihad untuk membantu para mujahid yang membutuhkan karena luka berat di medan perang.
Akan tetapi akan muncul pertanyaan kritis, bagaiman jika resipien adalah orang non-muslim, yang pastinya darah yang kita transfusikan ke dalam tubuhnya akan dipergunakan untuk menyekutukan Allah. Berkaitan dengan masalah ini, Syekh Abdullah Abdul al-Arrohim Al-Basm secara tidak langsung menyinggung hal serupa ketika membahas pertanyaan tentang kebolehan mentransplantasikan organ tubuh non-muslim kepada seorang muslim atau sebaliknya. Beliau mengatakan bahwa tubuh seorang muslim sebagaimana tubuh orang yang tidak beriman adalah suci, baik ketika masih hidup maupun sesudah mati. Beliau memperkuat pendapatnya dengan kaidah “ lelaki muslim boleh menikahi wanita yang berasal dari golongan ahli kitab ( yahudi atau Nasrani ). Dan beliau juga menerangkan ayat Al-Qur’an yang berbunyi “ sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis ( QS. Al-Taubah, 9:28 ) mengandung arti bahwa mereka najis secara spiritual sebab keyakinan mereka yang ingkar terhadap Allah SWT. Namun tubuh mereka tidaklah najis. Kemudian untuk memperkuat penafsirannya, beliau mengutip pernyataan Abdullah ibn Abbas “ Syiriklah yang membuat mereka (orang musyrik) najis”.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa fatwa hukum Syekh Al-Bassam tentang diperbolehkannya transplantasi organ tubuh non muslim pada tubuh seorang muslim atau sebaliknya berlaku pula pada kasus transfusi darah dari seorang muslim kepada non muslim dan sebaliknya. Hal ini seirama dengan apa yang disampaikan ustad Abdul Qodir Al-Hafidz (santri Ma’had Ustman Bin Affan dan mahasiswa Mahadika Islamic Centre Institute Jakarta Timur ) bahwa tidak ada sangkut pautnya dengan aktifitas setelah terjadinya pentransfusian darah. Darah yang ada dalam tubuh resipien (non muslim) entah dipergunakan untuk beramal sholeh atau justru sebaliknya , menyekutukan Allah dan ingkar kepada-Nya, hal itu tidak berpengaruh kepada si pendonor ( muslim ) atau bisa dikatakan tidak merubah hukum awalnya yang mubah. Sebab hal ini lebih cenderung masuk dalam hubungan sosial. Dan bukankah dahulu Rasulullah juga pernah memberikan makanan kepada orang-orang yahudi, dan mereka menyukutukan Allah setelah makan makanan pemberian Rasulullah.










KESIMPULAN
Donor anggota tubuh bagi siapa saja yang memerlukan pada saat si donor masih hidup. Donor semacam ini hukumnya boleh selam tidak menyebabkan kematian si pendonor dan pencampuradukan nasab atau keturunan. Karena Allah Swt memperbolehkan memberikan pengampunan terhadap qisash maupun diyat.
Tidak diperbolehkan melakukan tranplantasi organ dari seseorang yang telah mati. sementara dia terpelihara darahnya baik muslim, kafir dzimmi, mu’ahid maupun musta’min-pada orang lain yang kehidupannya tergantung pada (keberhasilan) tranplantasi organ tersebut.
Pengambilan darah dari pendonor dan pentranfusianya ke dalam tubuh resipien sama sekali tidak merusak martabat manusia, justru jika tindakan ini jika dilakukan sesuai denga ketentuan syari’at akan tergolong perbuatan mulia dan kemaslahatan ( maslahatul mursalah ), karena hal ini bisa dipandang sebagai salah satu jihad untuk membantu para mujahid yang membutuhkan karena luka berat di medan perang.

2 komentar: